Penulisan sejarah militer di Indonesia masih banyak didominasi oleh perspektif para pemimpinnya. Situasi
tersebut bisa dipahami mengingat pada umumnya sosok yang paling dikenang kontribusinya adalah sang pemimpin
kesatuan tertentu. Selain itu, para komandan inilah yang biasanya meninggalkan jejak-jejak tertulis yang kemudian
bisa dijadikan sumber-sumber primer bagi seorang sejarawan yang hendak melakukan rekonstruksi masa lalu. Maka tak
heran apabila hari ini rak-rak di toko buku terkait sejarah militer tak jauh dari biografi atau kesaksian para jenderal.
Sayangnya historiografi semacam itu tidak bisa memperlihatkan secara utuh bagaimana suatu aksi militer
dilakoni oleh mayoritas pelakunya yakni para serdadu. Padahal mereka inilah yang justru sehari-hari menjadi aktor utama
di dalam palagan bersenjata. Secara personal, saya sendiri memiliki rasa keingintahuan yang besar tentang bagaimana
para prajurit tersebut bertindak menjalankan strategi hingga melaksanakan instruksi dari atasannya. Di sinilah maka
sumber-sumber lisan dari para pelaku menjadi krusial sebagai sumber penulisan sejarah. Ketiadaan atau langkanya sumber
tertulis yang ditinggalkan mereka bukanlah suatu penghalang, justru kesaksian lisan mereka yang menjadi kekuatan.
Demikian pula kekuatan utama buku ini adalah bagaimana penulis mampun mengumpulkan sedemikian banyak kisahkisah
yang selama ini hanya menjadi memori personal menjadi suatu narasi sejarah. Dari cerita yang dikisahkan langsung oleh pelaku sejarah, kita seharusnya bisa melihat suatu peristiwa bersejarah yang besar dan penuh glorifikasi menjadi narasi
yang sangat manusiawi. Sebagaimana perjalanan hidup manusia, pasti ada kisah suka maupun duka, ironi hingga
tragedi. Begitu juga kisah-kisah dalam buku ini. Semogakarya-karya sejarah semacam ini semakin banyak dituliskandan membawa manfaat untuk generasi selanjutnya.
Adrian Perkasa
PhD Candidate Universiteit Leiden,
Sekretaris Umum PCI Nahdlatul Ulama Belanda.